Cerpen: The Ants

Cleo menggeliat, geli terasa di kakinya. Semakin lama, rasa geli itu menjalar hingga paha, lalu ke leher. Ia membuka mata dan menjerit seketika. Jutaan semut hitam berkumpul menutupi sekujur tubuhnya bak selimut.

Saat berusaha menyingkirkan semut-semut itu, sosok wanita dengan separuh wajah meleleh telah berdiri di hadapannya. Wanita itu menatap Cleo tajam. Darah menetes dari bagian wajah yang berupa daging tanpa kulit, seiring dengan keluarnya serangga-serangga kecil itu.

Cleo menjerit. Tubuhnya diguncang-guncang dengan keras oleh seseorang dan menyebut namanya. Ia terbangun dari tidur. Cleo mengatur napas yang masih terengah-engah. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

“Mimpi buruk lagi?” Sammy tampak khawatir. Ia mengelus lembut kepala Cleo.

Tak menjawab, Cleo justru membuka selimut tebal yang menutupi tubuhnya, mencari hewan kecil yang terus menghantui.

Nihil. Tidak ada apa-apa di balik selimut. Kasur dan lantai juga bersih. Cleo menghela napas. Ia tatap lelaki yang tampak bertanya-tanya akan sikapnya. Seketika, tangisnya pecah setelah mendekap lelaki itu.

“Kau terlalu lelah. Menulis cerita horor bisa jadi memengaruhi psikologismu,” ucap Sammy lembut.

Cleo melepas pelukan suaminya. “Tapi ini sudah kelima kalinya! Dan kau tahu, Sam, kali ini tak hanya semut!”

“Lalu?” tanya Sammy antusias.

“Semut-semut itu keluar dari wajah seorang wanita.” Cleo bergidik ngeri saat mengucapkannya. Terbayang wajah wanita yang mengeluarkan komplotan semut dari lukanya.

“Wanita?”

Cleo mengangguk.

“Seperti apa wajahnya?” Sammy memegang kedua lengan Cleo erat, mencoba mencari tahu lebih dalam tentang mimpi istrinya.

“Aku tak berani membayangkannya. Aku takut, Sam ….”

Sammy kembali memeluk sang istri. “Tidurlah. Semua hanya mimpi.”

Hening sesaat. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga kantuk kembali menyergap dan membuat mereka terlelap hingga pagi.

Cleo merupakan seorang penulis yang memilih genre horor dalam setiap tinta yang ditorehkannya. Ia belum menikah meski sudah berusia kepala tiga hingga akhirnya bertemu Sammy di acara pernikahan salah satu teman. Sammy yang juga sedang menyendiri, mencoba membuka hati dan menikahi Cleo beberapa bulan setelahnya.

Dua minggu lalu, Sammy mengajak Cleo tinggal di rumah itu setelah seminggu usia pernikahan mereka. Rumah besar berlantai satu di kawasan Amerika Selatan itu telah menjadi tempat tinggal Sammy selama lima tahun terakhir. Di dalamnya, terdapat sebuah laboratorium yang digunakan Sammy untuk melanjutkan penelitiannya di rumah.

Di rumah besar itu, Cleo selalu sendirian setiap kali Sammy—dosen kimia di salah satu universitas di Peru—berangkat ke kampus. Ia habiskan waktunya di depan laptop untuk menuangkan cerita-cerita ke dalam tulisan. Ruang tengah dekat jendela yang langsung menghadap taman menjadi tempat pilihan Cleo untuk menuangkan ide-idenya.

Suara di perut yang terdengar berkali-kali membuat Cleo bangkit dari kursi. Sejak pagi, ia hanya minum segelas air. Kini, rasa lapar melanda setelah ia mengutak-atik papan tombol untuk merangkai kisah.

Cleo berjalan menuju dapur. Saat melewati ruang laboratorium, ia merasa seseorang sedang mengamatinya. Cleo menoleh ke segala arah, tak ada siapa pun.

Pizza yang ia pesan satu jam lalu melalui layanan pesan antar tampak sangat menggiurkan. Saat sedang menikmati makanannya, seekor semut berjalan di tangan. Telunjuknya sigap menekan semut kecil itu hingga mati. Namun, perlahan pizza itu terasa aneh dan getir. Sesuatu terasa berjalan-jalan di lidahnya. Cleo menyemburkan makanan itu. Beberapa ekor semut keluar bersama potongan pizza dari mulutnya. Ia segera kumur-kumur untuk mengeluarkan sisa makanan.

Wajah Cleo mulai pucat, ia terduduk lemas di lantai. Detak jantungnya berpacu sangat kencang. Ia mencoba mengingat kembali saat membuka kotak pizza itu. Ia tak melihat seekor semut pun di sana sebelum melahap makanannya.

Cleo segera bangkit dan mengambil kotak pizza itu di meja, membawanya keluar dan melemparkannya ke tempat sampah.

Kali ini, teror semut tak hanya datang dalam mimpinya. Namun, sudah benar-benar mengganggu kehidupan nyata. Cleo terusik. Ia mengambil sapu dan membersihkan seluruh rumah.

Cleo tak menemukan seekor semut pun di dalam rumah besar itu. Lelah, ia duduk di kursi makan dan meneguk air putih. Saat menikmati minumnya, puluhan ekor semut berbaris rapi di dinding. Ia segera mengambil sapu dan serokan sampah untuk membersihkan semut-semut itu.

“Binatang sialan! Jangan menggangguku!” teriaknya frustrasi. Raut ketakutan tampak jelas di wajahnya. Namun, Cleo tetap berusaha memberanikan diri.

Setelah membuang semua semut itu, Cleo kembali duduk di depan laptopnya. Konsentrasinya untuk menulis telah hilang. Ia memijat-mijat kepala, lalu menutup laptopnya dengan keras.

Teror semut itu terus terjadi di hari-hari berikutnya. Puluhan, bahkan ratusan semut berjalan di dinding. Cleo mencoba mengikuti ke mana arah semut-semut itu pergi. Semut-semut itu berjalan melewati dinding ruang bersantai, dua kamar tidur yang kosong, lalu menghilang di pintu laboratorium.

Kedua mata Cleo terbelalak. Ia memukul-mukul kedua pipi, meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasinya akibat menulis kisah-kisah mistis. Rasa panas di pipi menyadarkannya. Cleo berlari meninggalkan ruangan yang berada tepat di sebelah dapur.

Sebelum tidur, Cleo menceritakan apa yang terjadi siang tadi kepada Sammy. Ia mencoba menggali apa yang ada dalam ruangan kerja lelaki itu.

“Kau pikir semut-semut itu berasal dari sana?” Sammy tampak tak senang dengan sikap sok tahu Cleo.

“Aku tak yakin, tapi mereka menghilang di pintu laboratoriummu.” Cleo tak mau kalah. Ia ingin membuktikan apa yang terjadi padanya bukan halusinasi.

“Ikut aku!” Lelaki berusia 38 tahun itu menarik tangan Cleo untuk mengikutinya, lalu menyambar gantungan kunci di nakas.

Sammy membuka pintu laboratorium dan menekan sakelar di balik pintu. Beberapa alat seperti beaker glass, labu takar, erlenmeyer, tabung reaksi, neraca analitik, mikroskop, serta beberapa alat lain tersusun rapi di tempatnya. Cleo memperhatikan seluruh sudut ruangan dengan saksama.

“Kau menemukan sesuatu?” tanya Sammy setelah membiarkan Cleo mencari apa yang ingin diketahuinya.

Wanita itu menggeleng lemah, lalu mengikuti Sammy keluar ruangan. Namun, di ambang pintu, Cleo merasa seseorang memegang tangannya.

“Ah!” Ia menepis, tetapi tidak ada apa-apa. Cleo kembali memperhatikan ruangan yang telah gelap itu sebelum benar-benar keluar dari sana.

“Istirahatlah. Kau tampak lelah.” Sammy mengecup kening Cleo yang masih duduk di kasur.

“Aku pasti sudah gila ….” Cleo mulai menangis dengan menutup wajahnya.

“Tidak. Kau hanya lelah. Apa kau ingin berlibur?” Sammy mencoba menenangkan.

Cleo menggeleng. “Aku harus segera menyelesaikan naskah akhir bulan ini,” ucapnya di sela tangis.

“Oke. Tenangkan pikiranmu. Tidak ada apa-apa di rumah ini. Aku sudah tinggal di sini selama lima tahun.”

“Lalu, dari mana semut-semut itu?” tanya Cleo dengan suara meninggi. Ia mulai depresi dengan semua teror yang dialami, baik dalam mimpi maupun kenyataan.

“Itu hanya halusinasimu, Cle. Kau terlalu banyak menulis horor ….” Sammy berusaha meyakinkan Cleo.

“Ya! Aku memang sudah gila!” teriaknya, lalu berbaring memunggungi Sammy, menumpahkan kembali tangisnya dalam diam.

“Maaf, Cle—“

“Aku lelah!” tandas Cleo. Sammy mengepalkan tangan sebelum memilih tidur di samping istrinya.

***

Cleo berlari sepanjang lorong gelap yang tak berujung. Ribuan semut hitam terus mengejarnya. Semakin lama, koloni semut itu menyatukan diri dan membentuk satu semut raksasa dengan dua capit menyerupai taring.

Kakinya mulai lemah, Cleo terjatuh dan tak mampu lagi berdiri. Ia menutup mata saat taring semut raksasa itu nyaris menyentuh wajahnya. Beberapa detik berlalu tanpa merasakan apa pun, Cleo memberanikan diri membuka mata. Makhluk mengerikan itu tak ada lagi di hadapannya. Ia segera bangkit dan berbalik untuk keluar dari lorong itu.

Saat berbalik, sosok wajah setengah terbakar dan dipenuhi semut itu berada hanya sejengkal saja dari wajahnya. Cleo menjerit ketakutan, lalu terbangun dari mimpi buruknya.

Laptop di meja masih menyala. Ia tertidur saat menyelesaikan naskahnya. Cleo mengusap wajah berkali-kali, lalu berjalan untuk mengambil air minum di dapur.

Matanya menangkap ribuan semut yang berjalan di dinding. Lebih banyak dari yang biasa ia lihat. Cleo berusaha tetap tenang dan memperhatikan hewan kecil itu. Semut-semut itu berhenti di pintu laboratorium, lalu membentuk huruf demi huruf.

‘HELP ME’

Cleo tersentak hingga terjatuh ke belakang. Tulisan itu tak juga hilang dan sedikit bergerak ke kanan dan kiri. Tiba-tiba, wajah wanita yang selama ini hadir dalam mimpinya tampak di antara tulisan yang dibentuk oleh semut-semut itu.

“Jangan ganggu aku …!” Cleo menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu perlahan membukanya kembali.

Tulisan dari kumpulan semut itu kini berjalan ke lantai di dekat Cleo, lalu kembali lagi ke pintu laboratorium.

‘Help me ….’ Suara wanita terdengar samar di telinga Cleo. Ia merinding. Namun, rasa penasaran membuatnya mencoba terus memberanikan diri.

“Siapa kau?!”

Tak ada jawaban, semut-semut juga menghilang.

Cleo berlari ke dapur, menghabiskan segelas air dalam beberapa tegukan. Ia mencoba mengaitkan semua yang dialami sebagai petunjuk.

Beberapa malam sebelumnya, Cleo juga bermimpi tentang seorang wanita yang suka memperhatikan semut. Cleo menatap wanita itu dari belakang, di taman samping rumah yang kini ia tempati. Semut-semut berbaris rapi tanpa menimbulkan kemacetan atau tabrakan. Tak seperti manusia yang saling menabrak, tak mau mengalah, bahkan berkelahi hingga berujung maut. Wanita asing itu selalu takjub akan jiwa sosial dan kedisiplinan semut dalam mengikuti jejak barisan sebelumnya.

Cleo berjalan perlahan hingga berdiri tepat di samping wanita itu. Ia jongkok dan turut mengamati barisan semut di batang pohon.

“Kau suka semut?” tanya Cleo. Wanita itu bergeming, perlahan menoleh ke arahnya. Separuh wajah meleleh dan dirubungi semut hitam membuat Cleo terperanjat dan menjerit ketakutan. Mimpi itu terjadi saat ia tertidur di depan laptop seperti yang terjadi beberapa menit lalu.

‘Help me ….’ Suara itu membuyarkan lamunan Cleo. Ia memberanikan diri kembali ke depan laboratorium. Cleo menelepon tukang kunci untuk membuka ruangan yang selalu di kunci Sammy.

Setelah pintu laboratorium berhasil dibuka, Cleo menjelajahi ruangan itu setelah tukang kunci pergi.
Ia membongkar seluruh arsip milik Sammy di sebuah lemari kaca untuk mencari tahu kebenaran. Namun, tak satu pun ia temukan sebagai petunjuk, kecuali sebuah buku bertuliskan “Corpse in Acrylic”.

Cleo ternganga saat membuka lembaran-lembaran hasil penelitian itu. Begitu banyak gambar manusia menyerupai mayat terkurung dalam kotak bening.

‘Apa yang sedang diteliti Sammy?’ Cleo bermonolog. Rasa penasarannya akan buku itu terhenti saat ratusan semut yang tadi menghilang, kini muncul dan membentuk lingkaran di sudut dinding. Cleo menekan sebuah tombol yang kelilingi semut-semut itu. Seketika, dinding di sampingnya berputar perlahan.

Sebuah kotak bening berukuran setinggi manusia berada di baliknya.

“Aa …!” Cleo menjerit dan refleks mundur. Tangannya menjatuhkan gelas takar hingga pecah.

Sesosok wanita yang selama ini menghantuinya berdiri di dalam akrilik itu. Matanya tertutup, sebagian wajah meleleh dan tampak dikerubungi semut hitam. Tubuhnya pucat, tetapi tidak hancur maupun bau seperti mayat.

Takut, Cleo mencoba lari dari sana. Sayang, saat hendak keluar dari rumah, Sammy tiba-tiba masuk dan menyeretnya ke dalam laboratorium.

“Kau akhirnya tahu!” Sammy menghempaskan tubuh Cleo hingga menabrak meja di tengah ruangan.

“A-apa i-tu … istri yang kau bilang pergi meninggalkanmu bersama selingkuhannya?” Cleo semakin takut. Namun, bukan lagi karena sosok wanita itu, tetapi karena lelaki di hadapannya yang lebih berbahaya dari setan. Ia berpikir akan bernasib sama dengan wanita penyuka semut itu.

“Aku mencintai Emma. Tapi … dia mengkhianatiku ….” Sammy mengelus akrilik besar itu. Mimiknya menunjukkan penyesalan. Namun, hanya berlangsung beberapa detik saja. “Wanita semut ini pantas menjadi bahan penelitianku! Aku juga bisa melihat wajah cantiknya setiap hari. Ha ha ha!” Tawa Sammy menggema dalam ruangan itu, membuat tubuh Cleo semakin bergetar ketakutan.

Tahun lalu, Sammy memergoki Emma—wanita dalam akrilik—sedang bercumbu dengan seorang pemuda asing berusia dua puluhan. Emma tak menyangka Sammy akan pulang lebih cepat dari yang dikatakannya. Nahas, air keras yang Sammy siram ke arah pemuda itu meleset akibat tersandung dan mengenai wajah Emma. Sementara pemuda itu lari secepat kilat meninggalkan rumah Sammy.

Melihat Emma menjerit kesakitan, Sammy justru menutup wajah istrinya dengan plastik. Setelah sang istri meregang nyawa, Sammy mengeluarkan semua darah di tubuh Emma dengan sebuah alat dan menggantinya dengan cairan kimia buatannya selama ini. Sammy memasukkan mayat Emma ke dalam akrilik yang telah lama ia siapkan untuk penelitian pengawet jenazah. Tak lupa, beberapa ekor semut ia taburkan ke wajah Emma untuk menemani mayat kekasihnya.

“Kau gila!” umpat Cleo seraya mencari celah untuk lari dari dari ruangan terkutuk itu.

“Kau tak akan bisa kabur!” Sammy menarik rambut panjang Cleo dan menyeretnya ke meja kosong di tengah ruangan. Cleo terus memberontak, terlebih saat satu tangan Sammy menyambar sebuah jarum suntik.

Belum sempat Sammy menyuntikkan suatu cairan ke tubuh Cleo, ribuan semut merah mengerubungi kaki Sammy, menjalar hingga menutup seluruh tubuhnya. Cleo menjauh. Ia bergidik menyaksikan pemandangan mengerikan itu.

Perlahan, semut-semut itu berangsur menghilang. Sammy tak lagi bergerak, bercak merah dan bengkak tampak di sekujur tubuhnya.

***

Pihak berwenang membawa akrilik beserta buku penelitian Sammy untuk dijadikan bukti. Cleo memandang dari kejauhan, lalu berbalik meninggalkan rumah itu. Tanpa disadari, beberapa ekor semut berbaris dan mengikuti jejak kakinya.

Tinggalkan komentar