5 Pilar Penerbitan Indonesia dan Sejarahnya

5 Pilar Penerbitan Indonesia dan Sejarahnya

 

Hallo Miks, 

Dunia tulis menulis tidak lepas dari peran penerbit. Penerbit sebagai lembaga yang bekerja untuk memproduksi suatu buku atau media cetak, dapat dikatakan sebagai penentu dalam sebuah karya tulis. Melalui penerbitlah, kecerdasan suatu negara ditentukan. Bangsa yang cerdas, dapat di nilai dari masyarakatnya yang gemar membaca. Baik dengan membaca buku maupun melalui media lain.

Penerbit atau penerbitan, adalah industri yang berkonsentrasi memproduksi dan memperbanyak sebuah literatur juga informasi, atau sebuah aktivitas yang membuat informasi untuk di nikmati publik. Secara tradisional penerbitan ini, usaha yang mengacu pada pendistribusian dari usaha percetakan seperti buku dan surat kabar. Dan dalam prosesnya dapat di bedakan dengan beberapa sistem, ada penerbitan umum (konvensional) dan penerbitan mandiri atau self-publish di mana penulis sebagai penerbitnya.

Di era digital seperti saat ini, dunia tulis menulis sudah semakin marak. Tidak hanya untuk konsumsi pribadi di laman media sosial masing-masing, tetapi juga untuk konsumsi publik. Dalam perkembangannya juga mengalami perluasan makna, dengan memasukkan unsur buku elektronik seperti dalam bentuk situs website maupun blog.

Sebelum mengenal lebih dalam tentang dunia penerbitan, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu sejarah awal mula adanya penerbit.

Cikal Bakal Berdirinya Industri Pernerbitan

Penerbitan di Indonesia sudah dimulai pada abad 17, ketika penjajahan VOC Belanda mulai mempublikasikan pamflet, brosur, koran dan majalah. Pada akhir abad 19 sebelum terjadinya kemerdekaan Republik Indonesia, mulailah tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa. Para penerbit yang kebanyakan berada di wilayah pulau Jawa dan Sumatera, sudah menerbitkan kurang lebih 3000 buku, pamflet dan lainnya.

Pada umumnya buku-buku yang di terbitkan pada masa itu, dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar. Sementara dari percetakan milik Indo-Eropa, menerbitkan karya terjemahan dari buku Eropa ke dalam bahasa melayu. Karya-karya kalangan Indo-Cina dan bumiputera, kurang mendapat simpati pada jaman pemerintahan kolonial saat itu.  Karya mereka dipandang rendah mutunya, karena di anggap sebagai karya picisan yang dapat merusak metal bangsa. Maka atas dasar hal tersebut, muncul Komisi Bacaan Rakyat sebagai penerbitnya.

Pada tahun 1917 komisi ini berganti nama menjadi Balai Poestaka, yang kemudian mampu mencetak ratusan karya buku dalam berbagai bahasa. Dari sinilah, banyak muncul karya sastra yang melejit hingga saat ini. Setelah empat tahun Balai Poestaka berkiprah dalam dunia industri penerbitan, mulai memiliki mesin cetak sendiri. Dan menjadi titik awal perkembangan kesastraan Hindia di negri ini, melalui kemunculan novel-novel terjemahan Eropa ke dalam bahasa Melayu.

Di masa penjajahan Jepang, penerbitan buku oleh Balai Poestaka tetap berjalan dan bertahan dalam kiprahnya. Akan tetapi, karya-karya yang di terbitkan dan seluruh jenis medianya lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik dan propaganda.

Saat Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, Balai Poestaka mulai menerbitkan buku nasional seperti Poestaka Antara, Poestaka Rakyat dan beberapa buku lainnya. Setelah kemerdekaan tahun 1950, Balai Poestaka mampu menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar. Ditahun ini pula, mulai bermunculan penerbit swasta nasional yang pada awalnya bermotif politis dan idealis.

Kemunculan penerbit swasta nasional ini, tergerak untuk mengambil alih dominasi penerbit Belanda yang setelah kedaulatan rakyat masih di ijinkan beroperasi di Indonesia. Atas gerakan inilah tepatnya pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasikan semua perusahan Belanda di Indonesia.

Memasuki masa orde baru, dunia penerbitan buku mengalami perubahan. Hal yang paling menonjol di era ini, bahwa penerbitan buku harus melalui sensor dan persetujuan Kejaksaan Agung. Banyak karya-karya penulis bagus dan terkenal tidak dapat dipasarkan, hal ini dinyatakan terkait G30S/PKI. Sebagai contoh karya penulis terkenal Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sotani dan beberapa pengarang lainnya.

Di masa era reformasi sejak tahun 1999, dunia penerbitan mulai mengalami perubahan. Pada masa ini, mulai terbukanya kebebasan disegala bidang. Baik di bidang sosial, ekonomi dan politik termasuk politik perbukuan. Pemerintah juga mencabut peraturan berupa Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers, sehingga semakin banyak orang maupun lembaga dapat mengekspresikan pendapatnya. Salah satunya dengan menerbitkan buku secara mandiri, dan banyak bermunculan buku dengan berbagai genre. Baik dibuku pelajaran, karya fiksi, biografi, tema motivasi hingga buku elektronik diera digital saat ini.

Dalam pelaksanannya industri penerbitan buku di Indonesia, di landasi oleh pilar-pilar penting. Pilar-pilar inilah yang membuat pembaca dapat menikmati buku hingga saat ini. Berikut 5 pilar penting, yang menjadi landasan dalam penerbitan buku.

Lima Pilar Industri Buku di Indonesia

  1. Penerbit

Di Indonesia tidak ada yang tahu persis berapa jumlah penerbit saat ini, namun setidaknya ada 783 penerbit yang tersebar baik di Jawa maupun Sumatera. Hal ini menunjukkan bahwa industri perbukuan masih ada namun tidak merata.

  1. Percetakan

Percetakan, sangat dibutuhkan dan saling terkait dalam industri penerbitan fiksi maupun non fiksi. Kedua industri ini tampak sama namun berbeda. Meski banyak penerbit yang memiliki percetakan sendiri dengan alasan lebih ekonomis, namun masih banyak yang menggunakan jasa pihak percetakan luar dikarenakan biaya produksi lebih murah bagi pemula.

  1. Distributor

Di Indonesia ada tiga jenis distributor. Pertama, distributor yang dijalankan oleh penerbitan itu sendiri. Kedua,distributor yang mengambil buku dari penerbit-penerbit ke toko buku dan pembaca. Ketiga, toko buku yang menjual langsung ke konsumen. Dan ketiga peran distributor ini sangat berjasa bagi industri penerbitan, dalam mendistribusikan buku dari penulis kepada konsumen.

  1. Toko Buku

Penyebaran buku tak lepas dari peran toko buku, karena konsumen dapat langsung memilih dan membeli buku yang ingin dibaca. Tetapi kecenderungan pada saat ini, toko buku semakin kurang diminati masyarakat. Dan penegakan hukum yang berlaku terhadap penerbit masih lemah, dimana penulis di berikan kebebasan untuk memasarkan langsung ke konsumen. Hal ini sangat mengganggu industri penerbitan, mengingat persaingan jadi semakin tinggi.

  1. Konsumen atau Pembaca

Minat baca masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Hal ini diperkuat dengan kajian dari UNESCO, bahwa minat baca penduduk Indonesia termasuk terendah dari 52 negara di Asia Timur. Dengan adanya kemudahanan era digital pada saat ini, semakin memperparah minat baca masyarakat sebagai konsumen paling utama dalam kelangsungan industri penerbitan.

Sejak jaman penjajahan VOC Belanda, dunia tulis menulis menjadi cikal bakal industri penerbitan. Dari sinilah mulai muncul usaha percetakan dan usaha lainnya hingga saat ini. Situasi dan kondisi yang terjadi, juga mempengaruhi perkembangan pendistribusian suatu karya tulis ke konsumen. Industri penerbitan juga dituntut berinovasi dalam memberikan karya yang edukatif, sebagai sarana mencerdaskan bangsa melalui media elektronik di era digital seperti saat ini.

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.