Ini Dia Review Buku “Renung di Tubuh Sunyi”

Hai, Miks!

Renung di Tubuh Sunyi“, adalah  antologi syair kontemplasi dari beberapa penulis. Awal kali membaca judulnya seperti menyiratkan ada unsur perenungan di dalamnya. Dan, benar saja ketika membaca hampir keseluruhan syair di dalamnya semakin membawa diri ini pada titik yang jarang disentuh.

Syair akan selalu memberi banyak tafsir layaknya puisi. Membacanya tentu tak cukup sekali untuk bisa merasakan benar daging maknanya. Layaknya buku “Renung di Tubuh Sunyi“. Ada sebagian syair yang harus dibaca lebih dari dua kali untuk bisa menyentuh hingga memperoleh sensasi maknanya. Maknanya seolah terkubur dalam lapis-lapis diksi yang digunakan oleh penulis.

Dari buku ini Anda bisa belajar banyak hal lewat permainan kata yang dimainkan oleh si penyair. Namun, di balik semua itu namanya sebuah buku pasti memiliki kurang dan lebihnya. Nah berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari isi buku, “Renung di Tubuh Sunyi“.

KELEBIHAN

Kumpulan syair kontemplasi ini bisa menjadi rujukan bacaan Anda penikmat sastra. Syair-syair di dalamnya akan mengantarkan Anda pada sebuah perjalanan jiwa, lika-liku hidup rasa yang kadang bergonta-ganti mewarnai atma.

Di saat lain Anda akan dibawa untuk merenungi rasanya ngilu ketika ditinggalkan oleh orang tercinta. Sebagaimana dalam syair Azkana pada judul “Jeritan Hati“, syair ini akan membawa Anda bagaimana komposisi rasa ketika ditinggal pergi selama-lamanya oleh orang tua. Lukanya tampak menganga di balik setiap diksi yang penulis cipta.

Bukan sekadar rasa haru yang akan Anda rasakan ketika menikmati beragam syair di dalamnya. Ada juga rasa rindu yang akan menyeruak masuk tatkala Anda membaca syair “Melepas untuk Kembali” yang ditulis oleh Syirotul Aini. Dari diksi yang diciptakannya emosi pembaca seolah diajak untuk merasakan bagaimana kombinasi rasa yang tercipta ketika harus melepaskan anak pergi jauh demi menuntut ilmu di kejauhan.

Selain itu Anda pun akan diajak bertamasya untuk menikmati bagaimana rasanya menjadi rerumputan dan embun dalam syair “Bagaimanalah“, karya dari Ihsania. Dalam syair ini Anda akan diajak merasakan bagaimana rasanya menjadi rerumputan yang selalu diinjak namun, begitulah tempat pijakan. Juga bagaiamana rasanya menjadi embun yang perlahan-lahan harus menguap oleh karena panasnya si bola raksasa yang awalnya membuatnya tampak berkilau. Penulis mencoba merangkai maknanya secara apik dipadukan dengan karakter manusia.

KEKURANGAN

Mencari kekurangan di dalam antologi buku ini awalnya memang sulit karena penulis berhasil membuat pembaca terpikat dengan beragam diksi yang kadang tak biasa. Namun, segala kelebihan dari antologi syair ini tetap memilih celah yang menuntun pembaca harus lebih peka dengan adanya salah yang mungkin saja tak sengaja tercipta.

Di beberapa syair sering ditemukan dua suku kata yang seharusnya dipisahkan oleh garis datar malah tersambung begitu saja. Sebagaimana kata yang terdapat pada syair yang berjudul “Kerinduan” karya Yuliati Ningrat. Di dalam syairnya terdapat dua kata yang seharusnya dipisahkan oleh garis datar, tapi tak perpisah seperti kata: dalamdalam, bayangbayang dan langitlangit.

Begitu juga dalam syair “Munajat” karya Syirotul Aini terdapat dua kata yang tak terpisahkan oleh garis datar yakni, sayupsayup.

Itulah review yang bisa dijabarkan dari karya antologi “Renung di Tubuh Sunyi“. Kekurangan yang terdapat di dalam karya ini tak sedikitpun mengurangi unsur kelebihan di dalam buku. Dengan kekurangan, sebuah buku tampak lebih manusiawi karena ada unsur belajar yang harus lebih banyak dipoles oleh para penyair. Namun, secara keseluruhan kelebihan buku ini mampu menutupi lapis-lapis kekurangan yang ada dalam buku. Salam literasi tak henti-henti ya, Miks!

Tulisan ini diikutsertakan dalam challenge Makmood Publishing hari ke-21

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.